"Berkat Surat”
Hari mulai petang, sinar mentari perlahan menghilang. Seorang tua duduk-duduk di beranda rumahnya. Sebentar ia berdiri, duduk dan berdiri lagi. Tampak ada sesuatu yang membuatnya gelisah.
Haji Junaedi : (Memegang sepucuk surat) “cih, apa-apaan ini! Teman macam apa dia!”
(Membaca surat itu sekali lagi kemudian tersenyum mengejek) “Apa dia pikir dia bisa melakukan apapun dengan pangkatnya itu? Dia pikir dia bisa menikahi Fatimah sedangkan ia sendiri punya istri dan anak. Hahaha.. jangan harap! ”
Nyai Salamah : (Keluar dari dalam rumah) “Tampaknya akang bahagia sekali, tertawa seorang diri. Ada apa Akang ?”
Haji Junaedi : “Ada kabar aneh, lucu,“
Nyai Salamah : “Apa sih? Coba ceritakan. “
Haji Junaedi : “Fatimah mana?”
Nyai Salamah : “Sedang bermain-main di belakang. Tapi ada apa kang?
Haji Junaedi : “Engkau kenal juragan Suria?”
Nyai Salamah : “Menteri kabupaten? Sahabat akang yang dulu kemari? Tentu saja kenal.”
Haji Junaedi : “Benar. Ya, sahabat akang itu berkirim surat kepada akang. Ia meminta Fatimah untuk jadi istrinya. Ini suratnya,manis dan halus benar isinya.”
Nyai Salamah : (Terkejut dan memucat setelah membaca surat tersebut)
Haji Junaedi : “Engkau suka bermenantukan manteri itu?”
Nyai Salamah : “Bermenantukan orang tua, yang berbini dan beranak itu? Daripada anakku bermadu, lebih baik dia tidak menikah selama-lamanya. Tidak Akang, aku tidak mengharapkan pangkat, hanya kebahagiaan Fatimah. Rupanya ia suka kepada..... Siapa gerangan orang muda itu? Den Kosim, ya, benar! Bagaimana rundingan dengan Juragan Patih, Akang?”
Haji Junaedi : “Belum ada keputusannya.”
Nyai Salamah : “Lebih baik hak itu Akang segerakan, ulang rundingan dengan Juragan Patih. Katakan, bahwa kita sudah siap.”
Haji Junaedi : “Jadi engkau tidak suka kepada menteri kabupaten itu? Ia bagus berpangkat, mulutnya manis....”
Nyai Salamah : “Jangan berolok-olok juga, Akang. Kalo akang mau ke kota, surat itu lebih baik dibakar saja! Rupanya tak ada sedikit jua ia segan kepada Akang”
Haji Junaedi : “Kita orang desa, tak berharga di matanya. Ya, hari Ahad besok aku ke rumah Juragan Patih. Surat ini ku bawa untuk menguatkan rundingan, supaya tidak diundur-undur lagi.”
Beberapa hari kemudian, pada suatu sore, Haji Junaedi sudah ada di dalam rumah Patih R. Atmadi Nata. Mereka bercakap-cakap mengenai rencana mereka.
Atmadi Nata : “Tapi kenapa buru-buru sekali? Takkan lari gunung dikejar. Apalagi ia baru dua bulan bekerja, tentu belum dapat memberikan apa-apa.”
Haji Junaedi : “Dari dulu kan sudah saya katakan, tidak perlu repot-repot. Biar saya yang tanggung. Yang penting sekarang lekas.....”
Atmadi Nata : “Mendesak benar rupanya! Ada apa?”
Haji Junaedi : “Lebih cepat lebih baik juragan. Hal baik harus segera dilaksanakan supaya tidak didahului hal buruk.”
Atmadi Nata : “Ada alasanya?”
Haji Junaedi : “Banyak. Pertama Fatimah sudah besar, kedua kami sudah siap dan ketiga.... Ini yang penting sekali juragan. Saya harap juragan baca sendiri.” (Memberikan surat itu kepada R. Atmadi Nata)
Atmadi Nata : “Tak kusangka-sangka! Agaknya sudah terbalik otaknya. Jadi bagaimana pikiran Akang sekarang?”
Haji Junaedi : “Sama seperti yang juragan pikirkan. Yang penting rencana itu segera direalisasikan.”
Atmadi Nata : “Bagaimana menteri kabupaten itu bisa bertemu dengan Fatimah?”
Haji Junaedi : “Dulu ketika ia berkunjung ke rumah saya. Barangkali juragan masih ingat, ia hendak ayam....?”
Atmadi Nata : “Ya, saya masih ingat.”
Haji Junaedi : “Beberapa hari sesudah itu ia datang ke desa, lalu saya sambut sebagai biasa. Ketika itu sudah mulai terpikir di kepala saya, bahwa dia punya niat busuk lain. Salah pandangannya kepada anak saya itu.”
Atmadi Nata : “Hem, ya....”
Haji Junaedi : “Benar, Juragan! Tunjuk lurus, kelingking berkait.”
Atmadi Nata : “Tapi kenapa baru sekarang ia kepikiran untuk mengirim surat seperti itu ya?” (Menggeleng-gelengkan kepala)
Haji Junaedi : “Sekarang Kosim lagi yang jadi batu penarung baginya!”
Atmadi Nata : “Ya, benar kata akang tadi. Lebih baik rencana itu disegerakan. Tentang surat itu, anggap saja tidak ada. Robek atau bakar, jangan sampai diketahui orang lain.”
Raden Kosim datang dari belakang. Pada air mukanya terpancar kebahagiaan, ia sudah mendapatkan
sesuatu yang diharap-harapkannya. Ia tersenyum simpul, dan melangkah mendekati Haji Junaedi
dan Atmadi Nata.
Kosim : “Assalamualaikum.”
H. Junaedi & A. Nata : “Wa’alaikum salam.”
Atmadi Nata : (Memberi isyarat agar Kosim duduk di sampingnya) “Kosim, Pak Haji sengaja datang untuk menentukan rundingan tempo hari. Bagaimana pikiranmu sekarang? Sudahkah engkau terima jawaban dari ibumu?”
Kosim : “Saya, juragan.” (Suaranya terdengar malu-malu)
“Kebetulan tengah hari tadi saya menerima sepucuk surat dari Garut. Biar saya ambilkan.” (Pergi ke dalam mengambil surat)
Atmadi Nata : (Membaca surat yang dibawakan Kosim) “Nah, selesai sudah. Tuhan meridhoi Akang Haji. Kosim sudah mendapat izin dari ibunya.”
Haji Junaedi : “Alhamdullilah!”
Atmadi Nata : “Bu, ibu! Kemari Bu!”
Istri Patih : “Ya pak, ada apa?”
Atmadi Nata : “Kosim dan Fatimah sudah akan menikah, Bu. Mereka sudah siap. Baiknya kapan ya, Bu?”
Istri Patih : “Oh jadi sudah fix? Syukurlah.. Kalo masalah itu kita tanyakan saja pada Kosim?”
Kosim : “Kalau ibuku sudah datang dari Garut saja, Bu.” (Malu-malu)
Istri Patih : “Nah kalau begitu. Sekarang kan tanggal lima belas, emm tanggal 2...., tanggal 3 bulan depan jatuh pada hari Minggu. Bagaimana kalau hari ini?”
Haji Junaedi : “Setuju!” (Suaranya keras dan riang)
Atmadi Nata : “Loh loh loh, bagaimana sih kalian? Bukanya Kosim tadi bilang pernikahanya dilangsungkan bila ibunya sudah tiba di sini. Lebih baik kita tunggu saja ibunya. Ingat, anaknya yang laki-laki Cuma seorang ini saja.”
Haji Junaedi : “Oh iyayah, yaudah saya menurut saja.”
Kosim : “Emm anu, ibuku datang sekitar 2 minggu lagi.”
Atmadi Nata : “Baiklah, pernikahanya dilangsungkan sekitar 2 minggu lagi. Bagaimana?
Haji Junaedi : “Setuju!”
Atmadi Nata : “Terus tempatnya dimana?”
Istri Patih : “Di tempat kita saja, Pak?”
Haji Junaedi : “Bagaimana kalau di tempat saya saja, kami sudah siap.”
Istri Patih : “Kami juga sudah sangat siap.”
Haji Junaedi : “Tapi bu, Fatimah anak saya satu-satunya. Kalau bukan untuk pernikahan Fatimah, rumah saya mau buat resepsi siapa lagi, Bu?”
Istri Patih : (Tersenyum) “Apa boleh buat. Benar juga, tentu tidak enak bagi Mbak Fatimah, kalau beralat di sini.”
Atmadi Nata : “Sip, sekarang sudah deal kan? Jadi pernikahanya sekitar 3 minggu lagi di Rancapurut, tempat tinggal Haji Junaedi.”
Kosim : “Alkhamdulillah..” (Tersenyum lebar)
Haji Junaedi : “Insya Allah.. Ehm, kira-kira Juragan Suria akan datang tidak yah?”
Atmadi Nata : “Hahaha semoga saja ia cepat sadar dan datang ke resepsi itu.”
Haji Junaedi : “Lebih baik dia kita undang. Saya akan menggelar pertunjukan wayang golek, dia sangat suka wayang golek.”
Atmadi Nata : “Haha baguslah.”
Kosim : (Tersenyum lebar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar